Senin, 06 Februari 2012

cinta dan tanggung jawab

Cinta dan… Tanggung Jawab?

Tulisan ini merupakan ringkasan dari artikel berseri yang didasarkan pada buku Men, Women and The Mystery of Love. Penulis aslinya, Edward P. Sri memberikan berbagai pemahaman yang mendalam tentang hubungan pria-wanita seperti yang terdapat pada buku Love and Responsibility yang ditulis oleh beato Yohanes Paulus II. Saya akan merangkum tulisan berseri tersebut dalam bahasa Indonesia. Artikel aslinya bisa dilihat disini.
Hal penting dalam persatuan pribadi dalam kehidupan pernikahan adalah cinta yang memberikan diri (self-giving love) secara timbal balik dan adanya kesadaran akan tanggung jawab satu sama lain sebagai sebuah hadiah/karunia. Tema tentang tanggung jawab ini begitu penting sehingga diletakkan dalam judul buku ini “Cinta dan Tanggung Jawab”, buku yang berbicara tentang cinta, pernikahan, dan hubungan pria-wanita.
Apa itu tanggung jawab? Dan bagaimana tanggung jawab mengubah hubungan antara kekasih, tunangan, dan “orang-orang penting lainnya?” Hal inilah yang akan kita pahami lebih lanjut dalam artikel ini.
Tanggung Jawab
Dalam betrothed love, cinta yang penuh melibatkan pria dan wanita yang saling memberikan dirinya. Pemberian diri ini merupakan tindakan mempercayakan diri secara total kepada pribadi lain – penyerahan preferensi, kebebasan, dan kehendak sendiri demi kepentingan orang lain.
Ini berarti dalam betrothed love, kekasihku memberikan diri kepadaku secara menyeluruh. Ia dengan bebas dan penuh cinta menyerahkan otonominya dan mengkomitmenkan kehendaknya bagi kebaikan pernikahan kami. Karena ia mempercayakan kehidupannya kepadaku dalam cara yang unik ini, aku harus memiliki kesadaran akan tanggung jawab baginya – demi kesejahteraannya, kebahagiaannya, rasa aman emosionalnya, dan kekudusannya. Seperti yang dijelaskan Wojtyla,”Di dalam cinta ada tanggung jawab khusus – tanggung jawab untuk seorang pribadi yang ditarik ke dalam persekutuan yang paling dekat dalam kehidupan dan aktivitas orang lain, dan menjadi pihak yang memperoleh keuntungan dari hadiah diri/pemberian diri ini” (hal. 130)
Wojtyla juga memberikan standar bagi cinta yang sifatnya counter-cultural :”Semakin besar rasa tanggung jawab bagi pribadi lain semakin besar adanya cinta yang sejati” (hal. 131).  Perhatikan bahwa beliau tidak mengatakan bahwa semakin kuat emosi yang dirasakan, semakin besar cinta itu. Pengukuran yang tepat untuk cinta bukan berapa banyak seseorang menikmati kebersamaan dengan kekasihnya atau seberapa besar kenikmatan yang ia terima dari kekasihnya. Cinta yang autentik tidak berpusat pada diri, tidak hanya melihat ke dalam emosi dan keinginanku secara konstan. Cinta yang sejati melihat ke luar dalam kekaguman, ia melihat kekasihku yang telah mempercayakan dirinya kepadaku, dan ia memiliki kesadaran akan tanggung jawab yang  mendalam bagi kebaikannya, khususnya dalam fakta ia telah mempercayakan dirinya kepadaku dalam cara ini.
Menerima Hadiah
Untuk lebih memahami peran tanggung jawab dalam sebuah hubungan, mari kita mempertimbangkan dua aspek dalam cinta yang memberikan diri (self-giving love). Di satu sisi, ada pemberian diri  : kekasihku memberikan dirinya kepadaku, dan aku memberikan diriku kepadanya. Di sisi lain, ada jugapenerimaan pribadi lain : Aku menerima kekasihku sebagai hadiah yang dipercayakan kepadaku, dan ia menerima aku sebagai hadiah jga. Wojtyla mencatat bahwa hal ini merupakan misteri agung reciprocity (timbal balik) dalam pemberian dan penerimaan diri satu sama lain. “Penerimaan juga berarti memberi, dan memberi berarti menerima” (hal. 129)
Bagaimana penerimaan berarti memberi? Dalam arti apa penerimaan terhadap kekasihku menjadi hadiah yang nyata baginya? Pemahaman dari Teologi Tubuh Yohanes Paulus II membantu menjelaskan hal ini [1]. Ketiak ia mengkomentari pernikahan Adam dan Hawa, ia menjelaskan bahwa ketika Hawa diberikan kepada Adam, ia diterima secara penuh oleh Adam, dan dua pribadi menjadi satu secara intim. “Maka pria berkata,’Inilah tulang dari tulangku dan daging dari dagingku’…karenanya pria akan meninggalkan ayah dan ibunya dan bersatu dengan istrinya, dan mereka menjadi satu daging” (Kej 2:23-24)
Karena dosa belum masuk ke dunia, Adam tidak berjuang dengan keegoisan. Karenanya, ia mencintai istrnya bukan untuk apa yang ia dapat dari sebuah hubungan (rekan kerja di taman, pertemanan, kesenangan emosional, kesenangan seksual, dst). Namun ia mencintai Hawa seperti ia apa adanyasebagai seorang pribadi. Ia memiliki kesadaran tanggung jawab yang mendalam bagi hawa, dan ia selalu mencari apa yang terbaik bagi dirinya, bukan hanya kepentingannya. Ia tidak pernah melakukan apapun yang akan melukainya.
Kunci dalam Keintiman
Coba tempatkan diri anda di posisi Hawa. Bayangkan anda memiliki kekasih seperti Adam! Bayangkan apa yang Hawa rasakan dengan diterima secara utuh dalam cara itu. Memang, memiliki suami yang dengan suka cita menerima Hawa sebagai hadiah dan mencintainya demi dirinya bagi Hawa, merupakan hadiah yang besar baginya, karena kerinduannya untuk persatuan pribadi bisa dipenuhi. Penerimaan Adam secara utuh/total terhadap Hawa memberikan baginya keamanan, untuk merasa cukup aman dalam mempercayakan hatinya, seluruh hidupnya, secara penuh kepada Adam tanpa rasa takut akan ditinggalkan.  Dengan kata lain, cinta Adam yang berkomitmen dan penerimaannya terhadap Hawa membantu perkembangan di dalam kepercayaan Hawa yang memungkinkan keintiman emosional terjadi.[2]
Inilah kunci dalam persatuan pribadi dalam pernikahan. Karena Hawa percaya penuh kepada cinta Adam baginya, ai tidak pernah merasa takut dimanfaatkan olehnya, disalahpahami olehnya, atau dilukai olehnya. Karenanya, dalam konteks cinta dan tanggung jawab, ia merasa bebas dalam memebrikan dirinay secara utuh kepada suaminya – baik secara fisik, emosional, spiritual – tidak meminta kembali.
Kembali ke Taman
Inilah dinamika yang kita inginkan untuk pernikahan kita : kepercayaan total, yang memungkinkan keintiman pribadi terjadi. Kekasihku akan bertumbuh untuk mempercyaaiku – dan karenanya menyingkapkan hatinya kepadaku – sejauh ia menyadari bahwa aku berkomitmen kepadanya, bahwa aku menerimanya secara utuh, dan aku merasakan tanggung jawab yang besar demi apa yang terbaik baginya.
Ini bukan hal yang mudah dicapai. Tidak seperti Adam dan Hawa di taman, kita telah jatuh. Kita egois, dan kita sering melakukan hal-hal yang melukai orang lain, yang bisa merusak kepercayaan dan menghambat keintiman. Hal ini terjadi ketika seseorang mulai memikirkan dirinya saja, bukan memikirkan apa yang terbaik bagi kekasih kita.
Bagaiman ketika kita pertama kali mengalami kelemahan kekasih kita, dan merasa dilukai oleh hal yang ia lakukan? Ketika kita terluka, kita digoda untuk menjadi frustrasi dengan kekasih kita, kita berkata pada dirikita “Mengapa ia selalu melakukan ini” Ia tidak pernah berubah!”. Kita menjadi defensive (“Ini bukan salahku! Mengapa ia tidak mau mengerti?”). Kita juga menaruh dinding penghalang (“Aku tidak akan memberitahu ia apa yang kurasakan…Ia sudah tidak peduli lagi padaku”). Kita bahkan menarik cinta kita (“Bila aku menikahi orang lain, aku tahu aku tidak akan diperlakukan seperti ini”)
Justru pada saat itulah penerimaan kita dan tanggung jawab bagi pribadi lain paling diuji. Kita seharusnya “mencintai pribadi lengkap dengan segala kebaikan dan kesalahannya, dan sampai pada titik yang independen antara kebaikan dan kesalahan itu” (hal. 135). Ia tidak berkata bahwa kita harus mengabaikan atau menutupi kelemahan dan dosa kekasih kita. Tapi ia menantang kita untuk menghindari memandang kekasih kita melalui sudut pandang pengacara yang menuntut ke muka pengadilan. Walau kita terluka, kita perlu melihat melampaui fakta legal semata (“Ia melakukan ini untukku”) dan melihat pribadi, yang mempertahankan nilai agungnya bahkan ditengah kekurangan dan dosa. Selagi kita melihat semuanya sepanjang refleksi ini, cinta yang sejati diarahkan kepada pribadi – bukan hanya apa yang ia lakukan bagi ku. Jadi ketika kekasih kita sedang tidak memiliki momen yang indah – momen yang tidak menyenangkan bagiku dan faktanya ia melakukan sesuatu yang melukaiku – akankah masih ada cinta yang utuh dan penerimaan baginya?
Itulah pertanyaan yang bisa digunakan dalam mengukur cinta seseorang, seperti yang rangkum oleh Wojtyla :
“Kekuatan cinta muncul palingjelas ketika kekasih kita tersandung, ketika kelemahan dan dosanya menjadi terbuka. Seseorang yang sungguh mencintai tidak menarik cintanya, tapi semakin mencintainya, mencintai dalam kesadaran penuh akan kekurangan dan kesalahan yang lain, dan tanpa menyetujui kesalahan tersebut. Karena seorang pribadi tidka pernah kehilangan nilai esensialnya. Emosi yang melekatkan dirinya pada nilai pribadi tetap setiap kepada manusia” (hal. 135)
Hal ini tentu serupa dengan cara Tuhan mencintai kita. Meskipun kita memiliki banyak dosa dan kegagalam, Allah tetap percaya pada kita, melihat kita dengan sabar dan penuh kasih pada kesalahan-kesalahan kita. Ia bertahan bersama kita bahkan ketika kita melakukan perbuatan yang melukai hubungan kita dengannya.
Karenanya, bila kita ingin seperti Kristus dalam pernikahan kita, hal pertama dan terutama adlah kita harus mengembangkan sikap mencinta yang lebih dalam dan penerimaan apa adanya bagi kekasih, dengan segala ketidaksempurnaannya. Bukannya mencoba mengubah mereka atau menjadi kesal dengan kesalahan mereka, kita harus tetap berkomitmen dengan teguh pada mereka sebagai pribadi yang telah dipercayakan pada kiat sebagai hadiah. Sikap fundamental kita terhadap kekasih kita ditengah kelemahan mereka bukanlah kebingungan, sikap bertahan, atau merasa terganggu, melainkan penerimaan yang teguh di hati kita, yang menerima ia apa adanya, bersabar dengan kesalahannya. Ketika kita melakukan ini, kita mulai mencintai seperti Allah mencintai kita. (cornelis - Lux Veritatis)....
terimakasih atas tulisan ini...membuat saya menjadi terinpirasi......

Tidak ada komentar:

Posting Komentar